Debt Collector Diduga Manfaatkan Polres Mojokerto Kota untuk Tekan Nasabah


MOJOKERTO - Pasangan suami istri, Heris Choiruman dan Anjiroh Mufidah, warga Desa Medali, Kecamatan Puri, Kabupaten Mojokerto, mengaku menjadi korban dugaan intimidasi oleh lima orang debt collector. Peristiwa yang disebut-sebut menyerupai aksi premanisme itu terjadi pada Selasa, 9 September 2025.

Heris menceritakan, beberapa pria yang diduga berlagak seperti anggota intel kepolisian mendatangi rumahnya, mengetuk pintu dengan keras, dan meminta istrinya menjemput dirinya di sekolah.

“Saat saya sampai rumah, saya langsung ditanya soal keberadaan mobil Avanza milik saya. Mereka memaksa saya masuk ke mobil tanpa memberi kesempatan menunggu istri yang sedang menjemput anak,” kata Heris.

Di dalam mobil, Heris mengaku dibentak dan diperlakukan layaknya pelaku kejahatan. Kap mobil bahkan digedor-gedor, membuatnya ketakutan. Ia kemudian dibawa ke Polres Mojokerto Kota.

“Sesampainya di Polres, saya disuruh mengaku mobil saya ada di mana. Karena takut, saya bilang mobil saya dititipkan ke Imam. Saya diminta menelpon Imam agar datang, dipaksa membuat surat pernyataan, lalu menandatangani dokumen yang bahkan tidak boleh saya baca isinya,” lanjutnya.

Tak berhenti di situ, ponsel Heris juga dirampas oleh dua orang yang diketahui bernama Hendro dan Rizal. “Saya tidak boleh menghubungi siapa pun. Ponsel saya dipakai mereka untuk menghubungi Imam lewat pesan singkat,” ungkapnya.

Sekitar pukul 17.30 WIB, staf LBH-PK yang dipimpin Sadak, S.H., M.H., datang menjemput Heris dan membawanya ke rumah saudaranya, Dedy, yang juga Ketua Garda Majapahit. Dari situlah Heris baru mengetahui bahwa kelima orang tersebut bukanlah anggota intel, melainkan debt collector bernama Hendro, Antok, Rizal, Hendrik, dan Pindang.

“Atas kejadian itu saya trauma. Saya diperlakukan seperti maling padahal ini masalah perdata, bukan kriminal,” tegasnya

Ketua Firma Hukum ELTS, Agus Sholahuddin, menyebut kasus ini sangat memprihatinkan.
“Ini diduga ada kerja sama antara debt collector dengan oknum polisi. Bagaimana bisa premanisme keluar masuk Polres dan menyeret konsumen? Padahal jelas ini kasus perdata, bukan pidana,” kata Agus.

Ia menegaskan, penegakan hukum harus sesuai prosedur. “Kalau ada kredit macet, silakan gugat fidusianya dulu. Jika terbukti unit dihilangkan, barulah bisa diproses pidana. Jangan sampai polisi dijadikan alat untuk menakut-nakuti warga,” ujarnya.

Agus mengingatkan bahwa tugas utama Polri adalah menjaga ketertiban, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan kepada masyarakat, sesuai Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 dan UU No. 2 Tahun 2002.

Lebih jauh, Agus menilai tindakan debt collector itu dapat dikategorikan sebagai percobaan penculikan sesuai Pasal 328 KUHP.
“Barang siapa dengan sengaja merampas kemerdekaan seseorang, diancam pidana penjara paling lama 12 tahun,” tegasnya.

Agus memastikan pihaknya siap mengawal kasus ini dan mendampingi korban untuk menuntut keadilan.
“Biar premanisme berkedok debt collector ini jera dan tidak mengulangi perbuatannya,” pungkasnya.

Editor : Satu Suara 
KABAR NASIONAL
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image